“Apa aku boleh memelukmu?” dan 6 Cara Lain untuk Mempraktikkan Persetujuan

Dipublikasikan pertama kali di Everyday Feminism

“Aku tidak pernah bilang iya!”
“Aku berasumsi kamu tidak masalah dengan itu!”
“Harusnya kamu tanya aku dulu.”

Kita semua mungkin pernah terlibat dalam argumen semacam ini, baik dalam hubungan bersama pasangan atau orang lain. Dan diskusi seperti ini tidak selalu tentang seks.

Saat mendengar kata “persetujuan” (consent), biasanya yang terlintas di benak kita adalah persetujuan seksual (sexual consent). Meski begitu, ada banyak hal di luar urusan ranjang yang sering kita lakukan tanpa persetujuan –dan sudah seharusnya kita menyadari bahwa itu sama berbahayanya.

Pada satu titik, sebagian besar dari kita mungkin pernah melakukan sesuatu tanpa persetujuan orang lain karena tidak terpikir oleh kita untuk bertanya terlebih dahulu. Karena itu, kadang kita perlu diingatkan bahwa dalam hal apapun, hanya “iya” yang dapat diartikan “iya”.

Jangan pernah berasumsi sendiri bahwa seseorang tidak keberatan dengan sesuatu, baik itu hubungan seksual, kegiatan kelompok, topik pembicaraan, maupun keputusan finansial yang menyangkut orang tersebut.

Untungnya, persetujuan seksual sekarang sudah menjadi topik yang lebih umum dibicarakan, baik di media, sekolah, maupun percakapan sehari-hari.

Orang-orang mulai menyadari bahwa persetujuan tidak otomatis didapat hanya karena seseorang tidak secara gamblang mengatakan “tidak.” Persetujuan juga bisa dicabut sewaktu-waktu dan hanya karena kita pernah menyetujui sesuatu bukan berarti kita setuju melakukannya lagi.   

Itu bagus, tapi kita bisa membawa diskusi ini selangkah lebih lanjut dengan menerapkan prinsip-prinsip persetujuan seksual pada situasi yang lain.

Komikus Everyday Feminism Alli Kirkham menunjukkan bahwa pada kasus tertentu, kita sebenarnya sudah memiliki naluri soal persetujuan. Sebagai contoh, setelah kita meminjam barang, biasanya kita tidak berasumsi kita bisa meminjamnya lagi tanpa bertanya dulu.

Meski demikian, masih banyak yang bisa kita lakukan untuk mempraktikkan persetujuan di luar urusan ranjang.

Pada dasarnya, tujuan kita saat mempraktikkan persetujuan seksual –misalnya, membuat orang lain merasa aman dan nyaman juga menghargai keinginan orang lain– juga menjadi tujuan kita dalam aspek-aspek kehidupan yang lain.

Seks tanpa persetujuan adalah perkosaan; mengambil uang tanpa persetujuan berarti mencuri. Perbuatan lain yang dilakukan tanpa persetujuan mungkin tidak memiliki nama, tapi sama-sama dapat menciptakan situasi yang tidak nyaman dan membuat orang lain merasa disalahi.

Namun, pada banyak situasi, budaya kita menganggap tidak ada yang salah dalam memaksa orang lain untuk mengikuti kegiatan meski mereka tidak merasa antusias atau membuat keputusan yang memengaruhi orang lain tanpa berunding terlebih dahulu dengan mereka.

Di bawah ini adalah beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk mempraktikkan persetujuan pada situasi-situasi yang tidak melibatkan seks.

1. Minta masukan dari semua pihak saat merencanakan kegiatan kelompok

Kebanyakan dari kita mungkin pernah mengalaminya: teman, teman sekamar, atau anggota keluarga memberi tahu tentang suatu rencana tanpa merundingkannya bersama kita. Tanpa disadari ini dapat membuat orang terpaksa berada di situasi yang membuat mereka tidak nyaman.

Tentu saja, tidak ada yang salah kalau kita mengundang seseorang untuk menghadiri acara yang sudah direncanakan sebelumnya, seperti pesta (selama mereka diberi kebebasan untuk menolak undangan tersebut). Tapi saat kita berharap orang lain berpartisipasi dalam suatu acara, penting untuk meminta masukan mereka.

Sebagai contoh, saat merencanakan liburan keluarga, tanya pada semua anggota keluarga apakah mereka setuju dengan tujuan berlibur yang dipilih sebelum membeli tiketnya. Kalau kamu sedang bertugas menyiapkan makan malam untuk teman sekamar, tanya apakah dia menyukai makanan yang akan kamu masak sebelum membeli bahan-bahannya. Kalau kamu dan temanmu memilih untuk makan di luar, pastikan temanmu tidak masalah dengan tempat makan yang kalian tuju.

Bahkan kalau film yang kamu unduh atau restoran yang kamu pilih adalah film atau restoran favorit sejuta umat, seseorang bisa punya alasan tertentu untuk tidak menyukainya yang tidak dapat kamu antisipasi. Bisa saja ia merasa terganggu oleh adegan tertentu, atau ia mempunyai pantangan atau preferensi makanan tertentu yang tidak kamu ketahui.

Satu ciri persetujuan adalah harus dilakukan berdasarkan pengetahuan yang cukup. Sebelum seseorang dapat menyetujui sesuatu, ia harus memahami apa yang mereka setujui.

Ketika seseorang terjerumus ke dalam suatu situasi bukan berdasarkan persetujuan mereka, akan sulit untuk keluar dari situasi tersebut, terutama kalau mereka takut menyinggung perasaan orang yang mengundang mereka.

Bahkan kalau semua pihak menyetujui rencana yang kamu buat, merencanakannya tanpa ada masukan dari mereka bisa membuat mereka merasa tidak dianggap penting.

Di sisi lain, bertanya tentang preferensi orang lain mengisyaratkan bahwa kesenangan mereka adalah prioritas bagimu.

Baik itu kencan atau tamasya keluarga, tanyakan langsung ke orang atau grup yang bersangkutan untuk memastikan mereka tidak keberatan dengan rencanamu atau kalau ada ide lain yang mereka pikirkan. Bisa saja mereka menawarkan ide-ide lain yang tidak kalah seru!

2. Jangan memberikan informasi pribadi tentang siapapun tanpa izin mereka

Kita semua tahu, tidak pantas membocorkan rahasia orang lain. Tapi bahkan kalau mereka tidak mengawali suatu pernyataan dengan mengatakan “Ini rahasia,” mereka mungkin tetap tidak ingin informasi itu disebar ke orang lain.

Sekalipun tidak ada yang memalukan dari keadaan mereka, mungkin mereka ingin merahasiakannya dari orang lain karena berbagai alasan, misalnya takut reaksi yang didapat tidak baik. Sebagai contoh, tidak dibenarkan mengungkapkan orientasi seksual orang yang belum melela (come out) atau memberi tahu bahwa seseorang adalah penyintas kekerasan seksual tanpa izin dari mereka.

Selain itu, tidak dibenarkan memberi tahu orang lain tentang masalah yang sedang dihadapi seseorang.

Ini mungkin agak rumit kalau masalah itu juga menyangkut dirimu dan kamu butuh teman cerita. Tidak masalah, malah kadang ini diperlukan, tapi usahakan untuk bercerita pada orang yang tidak mengenal pihak lain dalam masalahmu.

Saya pernah membuat kesalahan saat curhat mengenai perdebatan yang terjadi antara saya dan pasangan. Kebetulan teman curhat saya juga mengenal pasangan saya, jadi saya pikir dia bisa lebih memahami situasi kami.

Teman saya mungkin lebih mengerti masalah kami, tapi akibatnya tidak sepadan. Saat saya memberi tahu bahwa saya cerita tentang masalah kami, pasangan saya merasa saya dan teman saya sudah melanggar kepercayaan yang dia berikan. Saya tidak memegang persetujuan darinya untuk membeberkan detail tentang hubungan kami ke orang yang dia kenal. Seharusnya saya curhat ke teman yang tidak begitu dekat dengan pasangan saya.

Penting juga untuk memahami bahwa karena seseorang memutuskan untuk memberi informasi tentang dirinya dalam satu konteks, tidak berarti ia ingin informasi itu disebarkan dalam konteks lain.

Mendiskusikan sesuatu dengan satu kelompok pertemanan tidak berarti kamu ingin semua temanmu tahu, dan memberi informasi tentang dirimu kepada seseorang tidak berarti kamu bersedia membicarakannya di lain waktu.

Seniman , penulis, dan pekerja professional lain yang berurusan dengan masalah pribadi sering menghadapi kesalahpahaman ini.

Sebagai penulis, orang sering berasumsi kalau saya menulis tentang sesuatu, maka hal itu terbuka untuk didiskusikan dengan siapa saja. Namun, berhubung topik-topik tulisan saya banyak yang personal dan saya sering diganggu karenanya, saya ragu membicarakannya di ruang-ruang yang tidak terasa aman bagi saya.

Seorang teman pernah memperkenalkan saya pada seorang laki-laki dengan berkata, “Suzannah adalah penulis yang hebat. Coba ceritakan artikel tentang tidak mencukur bulu kaki yang viral itu.”

Saya merasa tidak nyaman mengemukakan alasan saya tidak mencukur bulu kaki kepada orang asing, terutama laki-laki (yang secara demografis merupakan kelompok yang paling banyak mengganggu saya setelah artikel itu terbit). Saya tidak tahu pandangannya tentang topik tersebut dan tidak ingin berdebat dengannya.

Media sosial menambah rumit lagi masalah ini.

Saat men-tag atau membuat postingan di laman Facebook seseorang, ingat bahwa banyak orang yang berteman dengan keluarga mereka di Facebook. Mereka juga mungkin berteman dengan orang-orang yang tidak mereka kehendaki untuk mengetahui suatu informasi –bahkan meski mereka membagi informasi ini denganmu.

Memang, tidak mungkin menjalani seumur hidup tanpa membicarakan orang yang kamu kenal. Tapi sebelum kamu membagi informasi apapun tentang seseorang, baik secara langsung atau online, pertimbangkanlah apakah mereka kira-kira mau informasi itu diketahui orang lain.

3. Minta persetujuan sebelum menyentuh seseorang secara non-seksual

Persetujuan untuk menyentuh orang lain tidak hanya penting dalam konteks hubungan seks, tapi juga perlu untuk ciuman, pelukan, dan bentuk kontak fisik lainnya.

Ini mungkin sulit karena budaya kita menganggap beberapa bentuk sentuhan tertentu diperlukan untuk sopan santun. Sayangnya, masih umum ditemukan orang tua yang memaksa anak mereka memeluk kerabat atau teman.

Saya belajar dari pengalaman bahwa memeluk seseorang tanpa persetujuan bisa menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan meskipun niat saya baik.

Suatu malam, saat akan berpisah dengan seorang teman kencan –yang saya yakin menyukai saya dan menantikan pertemuan kami selanjutnya- saya pikir dia akan senang kalau saya peluk. Alih-alih senang, dia terdiam kaku dan menolak menjelaskan alasannya tidak ingin dipeluk. Setelah saya desak, dia menjawab, “Pokoknya jangan lakukan itu lagi tanpa persetujuanku.”

Saya tidak tahu alasannya, tapi beberapa orang enggan memeluk orang lain karena pernah disentuh secara tidak senonoh di masa lalu atau karena mereka memiliki ruang pribadi yang lebih luas.

Satu contoh lain yang umum ditemukan adalah menggelitik orang lain. Memberi gelitikan dianggap sebagai cara yang lucu dan manis untuk menggoda seseorang, tapi sebenarnya ini membuat orang lain merasa tidak nyaman dan biasanya dilakukan tanpa persetujuan. Hanya karena orang tertawa saat dikelitiki, bukan berarti mereka merasa nyaman.

Pelukan, gelitikan, dan sentuhan lain yang tidak diinginkan adalah bentuk pelanggaran batas pribadi.

Menerapkan prinsip persetujuan juga berarti saat kamu ingin orang lain memberi jalan, kamu harus mengomunikasikannya secara verbal.

Kita mungkin pernah mengalami ada orang yang menyenggol, mendorong, atau menggeser kita supaya mereka bisa lewat. Disentuh tiba-tiba seperti itu bisa jadi mengejutkan dan membuat kita merasa disalahi, dan beberapa orang mungkin memiliki kondisi fisik atau mental yang membuat sentuhan yang tak diinginkan terasa menyakitkan.

Sebagai contoh, waktu siku saya terkilir, saya merasa kesakitan saat orang-orang menyenggol lengan saya untuk menciptakan ruang yang lebih luas untuk mereka di kereta. Lain lagi bagi seseorang yang pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, sentuhan yang tidak terduga bisa jadi pengalaman yang traumatis.

Di kota yang ramai, bertumbukan dengan orang lain kadang tidak bisa dihindari. Dalam hal ini, yang bisa kita lakukan saat ingin lewat adalah mengatakan “permisi” supaya orang di sekitar kita bisa menyisih sendiri alih-alih kita yang menggeser orang tersebut.

Mengontrol posisi tubuh seseorang melanggar otonomi atas gerakan mereka sendiri. Dan menyentuh seseorang dengan cara seperti apapun tanpa persetujuan dapat membuat mereka merasa tubuh mereka bukan sesuatu yang dapat mereka kontrol, melainkan objek yang dipakai untuk memenuhi tujuan orang lain. 

Ini mungkin terdengar bodoh, tapi tidak ada salahnya bertanya “Apa aku boleh memelukmu?” Dan tidak ada ruginya meminta orang lain untuk menyisih dengan sopan.

4. Minta persetujuan sebelum memfoto orang lain

Tidak semua orang ingin difoto, terutama kalau foto itu akan beredar luas.

Beberapa orang hanya ingin melindungi privasi mereka, dan yang lain tidak ingin melihat foto dirinya karena memiliki kekhawatiran tentang citra tubuh. Melihat diri mereka di foto bisa menimbulkan rasa cemas yang parah bagi orang-orang yang menderita dismorfia tubuh atau masalah citra tubuh lain.

Tubuh tiap orang adalah milik mereka dan hanya mereka sendiri, jadi sebagaimana seharusnya kamu tidak menyentuh mereka tanpa persetujuan, kamu juga tidak seharusnya mengambil foto tanpa izin yang empunya tubuh.

Kita sepertinya sudah menyadari hal ini ketika fotografer dan subjek fotonya tidak saling mengenal, di mana mengambil foto orang asing yang ditemui di jalan tanpa persetujuan tidak dianggap benar.

Namun biasanya kita tidak menerapkan aturan ini saat fotografer dan subjek fotonya mengenal satu sama lain.

Kita seharusnya memiliki hak untuk menentukan apakah orang lain boleh memiliki foto kita dan bagaimana foto kita digunakan.

Sama halnya dengan menyebarkan informasi tanpa persetujuan, masalah ini juga diperburuk oleh media sosial. Beberapa orang mungkin tidak ingin foto-foto tertentu dilihat oleh publik karena alasan personal ataupun profesional. Misalnya, beberapa orang berteman dengan atasan mereka di Facebook dan tidak ingin foto mereka sedang gila-gilaan atau memakai kostum Halloween seksi bebas dilihat.

Budaya kita juga mengakui otonomi kita atas cara foto kita digunakan. Sebagai contoh, perusahaan media tidak dapat memperbanyak foto seseorang tanpa izin karena itu merupakan hak milik subjek, bukan untuk dipakai demi keuntungan pihak lain.

Memang, ini sedikit berbeda karena perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari sebuah gambar, tapi pada prinsipnya, kita tidak boleh menggunakan gambar orang lain untuk tujuan pribadi tanpa persetujuan dari mereka.

5. Jangan memaksa seseorang untuk membicarakan suatu masalah

Ini mungkin sulit diterapkan –terutama saat kita sedang cekcok dengan pasangan dan ingin segera menyelesaikannya supaya kita bisa tidur dengan tenang. Meski begitu, jika seseorang tidak mau membicarakan suatu masalah, memaksa mereka untuk mendiskusikannya sama dengan melanggar batas mereka.

Sama seperti persetujuan seksual, tidak masalah apakah sebelumnya kamu pernah membicarakan masalah itu atau kamu sudah memulai pembicaraan tersebut.

Siapa saja bisa menolak mengikuti atau menarik diri dari suatu percakapaan jika itu membuat mereka tidak nyaman. Merasa tidak nyaman saat melakukan percakapan bisa jadi tanda positif karena artinya kita mempelajari hal baru, tapi pada akhirnya kembali ke tiap individu untuk menentukan seberapa banyak mereka dapat melebarkan zona nyaman mereka.

Masalah ini terjadi tidak hanya dalam hubungan romantis saja, tapi juga pertemanan (temanmu mungkin tidak ingin membicarakan hubungannya yang baru kandas karena masih terlalu sedih) dan hubungan keluarga (tidak semua orang ingin memberi tahu orang tua tentang kehidupan percintaan mereka).

Saat kamu ingin menanyakan pertanyaan yang pribadi, kamu bisa membuat lawan bicaramu merasa lebih nyaman dengan mengatakan, “Kamu tidak perlu jawab kalau kamu tidak mau.”

Sesungguhnya, kita tidak punya tanggung jawab apa-apa untuk memuaskan keingintahuan orang lain.

6. Jangan memaksa siapapun untuk menerima sesuatu darimu

Memasak atau membelikan hadiah untuk seseorang dapat menempatkanmu di posisi yang rentan. Perasaanmu bisa terluka dan kamu merasa tidak dihargai kalau mereka tidak menyukai atau memakai pemberianmu.

Tapi itu tidak membenarkan pilihan untuk memaksa orang lain menerima sesuatu darimu.

Pertama kali saya menyadari ini, saya merasa sangat lega. Saat itu saya sedang mengunjungi seorang tante dan ternyata ia sudah menyiapkan chili, makanan yang sebenarnya membuat saya mual. Saya berusaha tersenyum dan menahan diri untuk menghargai tante saya.

Ketika sedang berusaha menahan rasa mual yang saya rasakan, tante saya mengatakan sesuatu yang mengejutkan: “Kamu tidak perlu makan apapun yang kamu tidak suka.” 
Setelah saya mengakui yang sebenarnya, tante saya menghangatkan pasta yang kebetulan masih tersisa dan saya tidak perlu memaksakan diri melalui makan malam yang membuat saya mual.

Tante yang lain suka membelikan saya pakaian. Saya selalu menyukai pakaian yang ia pilihkan, tapi ia tidak pernah lupa menambahkan, “Kalau kamu mau, aku bisa menukarnya.” Dengan begitu, saya tidak terbebani dengan keharusan menyimpan barang yang tidak saya inginkan atau pura-pura antusias demi menyenangkan hati orang lain.

Dengan menjelaskan bahwa mereka tidak perlu pura-pura senang dengan pemberianmu, kamu bisa mencegah orang kesayanganmu makan, memakai, atau melakukan sesuatu yang tidak mereka suka.

Kalau kamu merasa sulit menerima saat usahamu mendapat penolakan, ingat saja, meski seseorang tidak merasa antusias mengenai pemberianmu, bukan berarti ia tidak menghargai usahamu. 

7. Tentukan mekanisme pembagian pengeluaran dari awal

Saya pernah mengalaminya beberapa kali saat pergi ke bar atau restoran dengan teman-teman: saya memesan lebih sedikit dibanding yang lain karena ingin berhemat, tapi kemudian satu orang memutuskan untuk memukul rata tagihannya dan saya terpaksa membayar lebih dari bagian saya.

Pernah juga saya makan siang dengan pasangan, tapi saat harus membayar, dia baru sadar uangnya tidak cukup sehingga saya harus membayar makanan untuk kami berdua.

Masalah lain yang juga sering muncul adalah peran gender yang membuat perempuan berharap laki-laki mentraktir saat kencan. Sebagian laki-laki mungkin tidak keberatan membayari kencan, tapi akan lebih sopan kalau setidaknya kita menawarkan untuk membayar makanan atau tiket nonton kita sendiri.

Mengajak seseorang berkencan tidak berarti setuju untuk membayari mereka apapun (sebagai tambahan, mempersilakan seseorang membayari sesuatu tidak berarti setuju untuk melakukan apapun setelah selesai kencan).

Memaksakan pengeluaran tak terduga pada seseorang dapat membuat mereka stres soal keuangan.

Sebelum membuat keputusan finansial, biasanya orang akan mempertimbangkan sebanyak apa uang yang kira-kira akan dikeluarkan. Kalau mereka tidak tahu dari awal, itu bisa merusak rencana keuangan mereka.

Selain itu, kita mendapatkan uang dari hasil kerja keras, jadi harusnya kita bisa menentukan kapan akan memakainya.

Sama seperti menyetujui suatu rencana tanpa tahu apa yang sebenarnya akan dilakukan, seseorang yang setuju untuk melakukan suatu kegiatan tanpa tahu biayanya berarti tidak membuat keputusan berdasarkan informasi yang cukup.

Supaya tidak ada yang terpaksa mengeluarkan uang melebihi bujet, beri tahu teman, keluarga, atau teman kencan dari awal mengenai biaya yang diperlukan untuk suatu kegiatan dan pastikan mereka tidak keberatan, atau setidaknya coba untuk menekan biaya seminimal mungkin.

Beri tahu juga mekanisme pembagian pengeluarannya supaya mereka punya informasi yang lengkap sebelum mengambil keputusan.

Dan kalau kamu punya rekening bersama dengan seseorang, buatlah kesepakatan tentang pengeluaran apa saja yang perlu dan tidak perlu dirundingkan terlebih dahulu.

Dengan memastikan tidak ada yang keberatan dengan pengeluaran yang dibuat, kamu menunjukkan bahwa kamu menghargai kerja keras mereka untuk mendapatkan uang. Hal itu bisa membuat orang-orang yang kamu sayangi merasa lebih dihargai dan tidak terbebani.

***

Sepertinya kita tidak mungkin hidup di dunia di mana semua hal yang terjadi pada semua orang terjadi atas persetujuan mereka. Kadang-kadang kita akan membuat kesalahan dan mengangkat topik pembicaraan yang ternyata menyinggung perasaan orang lain, membuat keputusan yang ternyata tidak disetujui orang lain, atau tidak sengaja melakukan kontak fisik dengan orang lain.

Tapi kita bisa mengurangi kejadian-kejadian tak diinginkan dengan cara meminta persetujuan kapanpun jika memungkinkan, baik di kamar maupun di luar itu.

Tanpa adanya tekanan atau paksaan, kita akan merasa berdaya ketika mengambil keputusan menyangkut tubuh dan kehidupan kita sendiri.

Dan saat kita tidak dibatasi oleh kehendak orang lain, kita memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi apa yang sebenarnya kita inginkan.

Terlepas dari apakah kita bisa mencapai dunia yang utopis seperti itu, dengan mengusahakannya berarti kita telah menciptakan tempat yang lebih akomodatif bagi semua orang.


Diterjemahkan dari “7 Ways to Practice Consent Outside of the Bedroom” oleh Suzannah Weiss

Suzannah Weiss adalah kontributor Everyday Feminism dan penulis yang berbasis di New York. Tulisannya pernah dimuat di The Washington Post, Salon, Seventeen, Buzzfeed, The Huffington Post, Bustle, dan masih banyak lainnya. Dia memiliki gelar di bidang Gender and Sexuality Studies, Modern Culture and Media, dan Cognitive Neuroscience dari Brown University.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top